Masalah Pertanian di Majalengka

Petani sedang menggarap sawah (sumber gambar: edunews.id)

Oleh: Gelar S. Ramdhani

Saya adalah orang kampung, dilahirkan disebuah desa di bawah kaki gunung Ciremai, tepatnya di Desa Banjaran Kecamatan Banjaran Kabupaten Majalengka. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat desa saya adalah petani, maka tak heran di desa saya banyak sekali sawah, dan saya pun waktu kecil senang sekali main di sawah.

Hampir 10 tahun saya merantau ke luar kota, sejak lulus SMA saya melanjutkan pendidikan di luar kota. Pulang kampung hanya sesekali saja, itupun hanya satu dua hari, atau paling lama seminggu dua minggu. Sekarang saya kembali tinggal di kampung halaman, hidup sebagai warga desa. Tetapi jujur saja, saya merasakan ada suasana yang berbeda di kampung saya, antara dulu dan sekarang. Apa yang beda? Salah satu yang beda adalah kehidupan petani di desa saya, menurut saya semangat bertani warga desa saya seperti menurun.

Saya mendengarkan cerita salah seorang warga desa saya yang dari dulu hingga sekarang mencari nafkah sebagai petani, mereka bercerita bahwa kondisi pertanian di Desa Banjaran sudah berubah, lain dulu lain sekarang. Ternyata banyak sekali permasalahan dalam bidang pertanian di negara kita, yang dirasakan oleh petani, termasuk petani di daerah saya. 

Banyak petani di desa saya yang terjebak dalam masalah permodalan. Contohnya ketika petani menghadapi musim tanam, butuh modal yang tidak sedikit. Misalnya saja untuk keperluan mengolah lahan, bibit, pekerja, pupuk, dan lain sebagainya. Setelah musim tanam selesai, bukan berarti kebutuhan modal selesai sampai disini, tanaman perlu dilakukan perawatan agar tumbuh dengan baik, dan ini juga butuh modal yang tidak sedikit. Ketika memasuki musim panen, petani mulai memasuki masa harap-harap cemas, kenapa demikian? Kita tahu bahwa harga jual hasil pertanian tidak stabil alias naik turun (fluktuatif), mending kalau pas panen harga jual sedang bagus, kalau ternyata sebaliknya harga jual murah? atau masalah lain seperti hama yang membuat petani gagal panen. Dalam kondisi ini tak jarang petani mengeluhkan hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan, alias rugi!

Bagi warga yang sudah lanjut usia, untuk bisa bertahan hidup tidak ada pilihan lain selain menjadi petani, tapi bagi anak muda (termasuk saya) menjadi tidak bersemangat untuk bertani, karena modal dan harga jual yang tak pasti tadi. Ditambah lagi orang tua kami mendoktrin "Nak.. jangan jadi petani capek, untungnya ga ada!" akhirnya kami semakin takut untuk bertani.

Ketika anak muda di desa saya tidak mau bertani, dan menganggap menjadi petani itu adalah pekerjaan yang tidak menguntungkan, dan juga tidak bergengsi. Pertanyaan saya sangat sederhana, "Nanti siapa yang mau meneruskan menggarap sawah? siapa nanti yang bercocok tanam? siapa nanti yang menanam padi? bukankah makanan pokok kita masih nasi? siapa nanti yang menanam sayur? bukankah tubuh kita masih perlu sayur?" bagi saya ini masalah yang sangat serius!

Populasi penduduk Dunia termasuk Indonesia, sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan jumlah penduduk yang signifikan. Sepuluh tahun yang akan datang penduduk planet bumi ini diperkirakan akan terus bertambah pesat. Artinya dengan bertambahnya jumlah populasi penduduk, maka bertambah pula kebutuhan pangan (makanan), karena manusia butuh makanan untuk bertahan hidup.

Kalau di desa saya anak muda sudah tidak mau bertani, atau pemuda di desa lainnya juga tidak mau bertani, ditambah lagi luas lahan sawah semakin berkurang akibat pembangunan. Nanti siapa yang memproduksi pangan? nanti bagaimana kebutuhan pangan kita? kita mau makan apa? mau makan kuota internet kah untuk bertahan hidup?

Catatan ini bukan untuk siapapun, hanya untuk diri saya sendiri, agar saya selaku anak muda desa mulai berfikir memproduksi pangan untuk masa depan kita semua.

Warga dunia butuh makan!

Simak pula tulisan Gelar S. Ramdhani lainnya klik disini
Apakah anda ingin mengetahui profil penulis tulisan ini? klik disini

Komentar

Tulisan paling populer

Rekomendasi Bus dari Jakarta ke Majalengka

Klasifikasi Maloklusi Angle dan Dewey

Klasifikasi Karies Menurut GV Black